Blogger Widgets

Friday, May 24, 2013


Cyber prostitution merupakan bagian dari cyber crime yang menjadi sisi gelap dari aktivitas di dunia maya. Tindak pidana atau kejahatan mayantara adalah sisi buruk yang amat berpengaruh terhadap kehidupan modern dari masyarakat informasi akibat kemajuan teknologi informasi yang tanpa batas. Barda Nawawi Arief bahkan dengan tegas menggolongkannya sebagai cyber crime di bidang kesusilaan atau secara sederhana diistilahkan dengan cyber sex.
 Lebih lanjut beliau dengan mengutip pendapat dari Peter Davif Goldberg mengatakan bahwa cyber sex adalah penggunaan internet untuk tujuan-tujuan seksual (the use of the internet for sexual purposes). Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh David Greenflied yang mengatakan bahwa cyber sex adalah menggunakan komputer untuk setiap bentuk ekspresi atau kepuasan seksual (using the computer for any form of sexual expression or gratification).

Meskipun pengaturan mengenai larangan cyber prostitution telah dirumuskan dengan jelas dalam hukum positif Indonesia yakni dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, namun penegakan hukum dalam kasus cyber prostitution ini sangat sulit dilakukan. Hal ini disebabkan karena sulitnya menentukan yurisdiksi dari cyber prostitution. Berkat kemajuan informasi para netter dapat bertransaksi prostitusi secara online yang melintasi batas lintas negara (borderless). Karakteristik lintas batas negara ini menjadikan cyber prostitution berada dalam anatomi  kejahatan transnasional. Cyber prostitution sebagai kejahatan transnasional tentu membutuhkan optimalisasi penegakan hukum di setiap negara di dunia.

Dalam kerangka penegakan hukum, yuridiksi menjadi suatu hal yang berlaku secara fakultatif sehingga penegakannya tergantung dari kebijakan masing-masing negara. Hal ini disebabkan karena ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional (termasuk mengenai yurisdiksi) oleh sebagian pakar hukum masih dipandang sebagai sekadar kaidah moral saja. Apabila setiap negara masih mengakui yurisdiksi teritorial hukum pidana nasional suatu negara, maka setiap penanggulangan kejahatan-kejahatan yang bersifat transnasional atau internasional dengan sendirinya hampir tidak dapat dilaksanakan tanpa bantuan atau kerjasama antara negara satu dengan lainnya, seperti kerja sama bilateral atau multilateral. Sehingga penegakan hukum terhadap cyber prostitution sangat bergantung pada kerjasama internasional disamping aparat penegak hukum yang handal dan budaya hukum masyarakat. Misalnya saja sudah selayaknya Indonesia membuat sebuah kerjasama internasional dengan Negara Thailand mengenai kejahatan prostitusi lewat dunia maya ini. Hal ini disebabkan karena banyaknya kasus cyber prostitutionyang melibatkan kedua Negara ini.

Mengingat bahwa cyber crime utamanya cyber prostitution tidak mengenal batas-batas negara maka dalam upaya penanggulangannya memerlukan suatu koordinasi dan kerjasama antarnegara. Cyber crime memperlihatkan salah satu kondisi yang kompleks dan penting untuk diadakannya suatu kerjasama internasional. Secara hukum hal tersebut telah mengalami kemajuan sebab di Budapest, Hongaria, 30 negara telah sepakat untuk menandatangani Convention on Cybercrime, yang merupakan kerjasama internasional untuk penanggulangan penyebaran aktivitas kriminal melalui internet dan jaringan komputer lainnya.

Selain itu menyadari adanya kekhawatiran akan ancaman dan bahaya dari cyber crime, PBB telah mengadakan kongres mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, melalui Kongres VIII/1990 di Havana dan Kongres X/2000 di Wina. Sementara itu, pada tanggal 23 November 2001, negara-negara yang tergabung dalam Dewan Eropa (Council of Europe) telah menghasilkan konvensi cybercrime(Council of Europe Cyber Crime Convention) yang ditandatangani di Budapest (Hongaria) oleh berbagai negara, termasuk Kanada, Jepang, Amerika, dan Afrika Selatan. Berbagai hasil kongres dan konvensi internasional tersebut telah memperlihatkan bahwa salah satu bentuk cyber crime yang sangat meresahkan sekaligus mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan adalah cyber crime di bidang kesusilaan.

Meski demikian efektivitas dan efisiensi pelaksanaannya masih perlu dicari format yang tepat, karena seperti kasus-kasus sebelumnya banyak konvensi internasional yang terbentur dalam pelaksanaannya. Salah satu unsur yang akan menjadi tantangan dalam menerapkan suatu konvensi adalah perbedaan persepsi terhadap masalah yang bermuara dari perbedaan kepentingan dan pengalaman.
Walaupun nampaknya belum ada suatu bentuk kerjasama internasional yang benar-benar efektif menghilangkan perilaku kejahatan dalam dunia maya, tetapi konfrensi di Budapest telah menjadi landasan penting bagi adanya kerjasama lanjutan berkaitan dengan cyber crime. Kemudian ketika masalah praktik kejahatan dalam dunia maya telah menjadi isu politik, maka peluang ke arah kerjasama yang melibatkan negara-negara menjadi lebih terbuka.

Tagged: ,

0 comments:

Post a Comment