Cyber prostitution merupakan bagian
dari cyber crime yang menjadi sisi gelap dari aktivitas di dunia
maya. Tindak pidana atau kejahatan mayantara adalah sisi buruk yang amat
berpengaruh terhadap kehidupan modern dari masyarakat informasi akibat kemajuan
teknologi informasi yang tanpa batas. Barda Nawawi Arief bahkan dengan
tegas menggolongkannya sebagai cyber crime di bidang kesusilaan atau secara sederhana diistilahkan
dengan cyber sex.
Lebih lanjut beliau dengan mengutip pendapat
dari Peter Davif Goldberg mengatakan bahwa cyber sex adalah penggunaan internet untuk tujuan-tujuan
seksual (the use of the internet for
sexual purposes). Pandangan yang
sama juga dikemukakan oleh David Greenflied yang mengatakan bahwa cyber sex adalah menggunakan komputer untuk setiap bentuk
ekspresi atau kepuasan seksual (using the computer for any form of sexual expression or gratification).
Meskipun pengaturan mengenai larangan cyber prostitution telah dirumuskan dengan jelas
dalam hukum positif Indonesia yakni dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, namun penegakan hukum dalam kasus cyber prostitution ini sangat sulit dilakukan. Hal ini
disebabkan karena sulitnya menentukan yurisdiksi dari cyber prostitution. Berkat
kemajuan informasi para netter dapat bertransaksi prostitusi
secara online yang melintasi batas lintas negara
(borderless). Karakteristik lintas batas negara ini menjadikan cyber prostitution berada dalam anatomi
kejahatan transnasional. Cyber
prostitution sebagai
kejahatan transnasional tentu membutuhkan optimalisasi penegakan hukum di
setiap negara di dunia.
Dalam kerangka
penegakan hukum, yuridiksi menjadi suatu hal yang berlaku secara fakultatif
sehingga penegakannya tergantung dari kebijakan masing-masing negara. Hal ini
disebabkan karena ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional (termasuk
mengenai yurisdiksi) oleh sebagian pakar hukum masih dipandang sebagai sekadar
kaidah moral saja. Apabila setiap negara masih mengakui yurisdiksi teritorial
hukum pidana nasional suatu negara, maka setiap penanggulangan
kejahatan-kejahatan yang bersifat transnasional atau internasional dengan
sendirinya hampir tidak dapat dilaksanakan tanpa bantuan atau kerjasama antara
negara satu dengan lainnya, seperti kerja sama bilateral atau multilateral.
Sehingga penegakan hukum terhadap cyber
prostitution sangat
bergantung pada kerjasama internasional disamping aparat penegak hukum yang
handal dan budaya hukum masyarakat. Misalnya saja sudah selayaknya Indonesia
membuat sebuah kerjasama internasional dengan Negara Thailand mengenai
kejahatan prostitusi lewat dunia maya ini. Hal ini disebabkan karena banyaknya
kasus cyber prostitutionyang
melibatkan kedua Negara ini.
Mengingat bahwa cyber crime utamanya cyber prostitution tidak mengenal batas-batas negara maka
dalam upaya penanggulangannya memerlukan suatu koordinasi dan kerjasama
antarnegara. Cyber crime memperlihatkan
salah satu kondisi yang kompleks dan penting untuk diadakannya suatu kerjasama
internasional. Secara hukum hal tersebut telah mengalami kemajuan sebab di
Budapest, Hongaria, 30 negara telah sepakat untuk menandatangani Convention on
Cybercrime, yang merupakan kerjasama internasional untuk penanggulangan penyebaran
aktivitas kriminal melalui internet dan jaringan komputer lainnya.
Selain itu
menyadari adanya kekhawatiran akan ancaman dan bahaya dari cyber crime, PBB telah
mengadakan kongres mengenai The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, melalui Kongres
VIII/1990 di Havana dan Kongres X/2000 di Wina. Sementara itu, pada tanggal 23
November 2001, negara-negara yang tergabung dalam Dewan Eropa (Council of Europe) telah menghasilkan konvensi cybercrime(Council of Europe
Cyber Crime Convention) yang
ditandatangani di Budapest (Hongaria) oleh berbagai negara, termasuk Kanada,
Jepang, Amerika, dan Afrika Selatan. Berbagai hasil kongres dan konvensi
internasional tersebut telah memperlihatkan bahwa salah satu bentuk cyber crime yang sangat meresahkan sekaligus
mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan adalah cyber crime di bidang kesusilaan.
Meski demikian efektivitas dan efisiensi pelaksanaannya masih perlu
dicari format yang tepat, karena seperti kasus-kasus sebelumnya banyak konvensi
internasional yang terbentur dalam pelaksanaannya. Salah satu unsur yang akan
menjadi tantangan dalam menerapkan suatu konvensi adalah perbedaan persepsi
terhadap masalah yang bermuara dari perbedaan kepentingan dan pengalaman.
Walaupun nampaknya
belum ada suatu bentuk kerjasama internasional yang benar-benar efektif
menghilangkan perilaku kejahatan dalam dunia maya, tetapi konfrensi di Budapest
telah menjadi landasan penting bagi adanya kerjasama lanjutan berkaitan dengan cyber crime. Kemudian ketika
masalah praktik kejahatan dalam dunia maya telah menjadi isu politik, maka
peluang ke arah kerjasama yang melibatkan negara-negara menjadi lebih terbuka.
0 comments:
Post a Comment